Preaload Image
Back

LITERASI, JALAN TENGAH ATAU JALAN BUNTU?

Sebuah tugas sekolah, kini tidak menjadi suatu pekerjaan berat bagi siswa semenjak adanya mesin pencarian otomatis seperti google, youtube atau platform belajar lain. Di era modern ini, mendapatkan informasi dan pengetahuan menjadi sangat mudah. Tidak hanya itu,  kemajuan teknologi terus berkembang untuk memenuhi kepuasan manusia khususnya di bidang pendidikan. Kehadiran Artificial Intelligence atau kecerdasan buatan membuat siswa memiliki kesempatan ‘dialogis’ kepada sebuah ‘mesin’ dalam menyelesaikan permasalahan sekolahnya. Namun kehadiran AI ini tentu seperti dua mata pisau yang sama tajamnya. AI tidak hanya berguna bagi siswa tetapi bisa membodohi siswa.

Ketergantungan terhadap AI akan membuat siswa malas untuk berpikir dan tidak memaksimalkan fungsi otak. Semangat dan gairah siswa terhadap nalar kritis akan semakin menurun. Siswa yang semula memiliki kesempatan untuk mengembangkan kreativitasnya terpaksa menjadi penjiplak atau yang dalam bahasa ilmiahnya kita kenal dengan istilah ‘plagiator’. Kebiasaan plagiasi atau memindahkan pikiran-pikiran mesin pencarian ini pada akhirnya menciptakan siswa yang tidak kreatif dan tidak produktif.

Siswa dan Literasi

Guru dan semua elemen pendidikan harus mengembalikan siswa kepada kodratnya yaitu berliterasi. Siswa dan literasi bagaikan peselancar dengan ombaknya. Betapapun hebatnya seorang peselancar ia membutuhkan ombak untuk menggerakkan selancarnya. Begitu juga dengan siswa, sehebat apapun inputnya (pelajar)  dan selengkap apapun fasilitas sekolah, ia membutuhkan literasi untuk mencapai kesuksesannya. Dalam definisi sederhana, masyarakat mengenal istilah literasi ini sebatas kebiasaan membaca atau kegemaran seseorang dalam membaca.

Bagi saya, berliterasi artinya memiliki wawasan yang utuh. Ketika siswa dihadapkan pada persoalan pencemaran air dan udara ia membutuhkan wawasan lingkungan untuk menghadirkan solusinya. Ketika siswa dihadapkan pada konflik yang terjadi pada masyarakat, ia membutuhkan wawasan kebangsaan. Tentu, dengan berliterasi persoalan yang terjadi akan mendapatkan penyelesaian yang tepat. Melalui literasi juga, siswa memiliki kebiasaan untuk melakukan kajian-kajian dan riset-riset dalam rangka menjawab tantangan global.

Membaca Buku Konvensional

Menggunakan AI dan Google dalam membantu proses belajar adalah bagian dari wawasan berteknologi, tetapi memindahkan keseluruhan konten tanpa memberikan penilaian adalah bentuk kebodohan. Seorang siwa akan kehilang feel dari indahnya sebuah teks, jika kebiasaaanya adalah mengcopy faste teks dari sebuah mesin. Sebelumnya kita sudah mengenal teori taksonomi Bloom yang dimulai dari tahapan mengetahui, memahami, menganalisis, menerapkan, menilai dan menciptakan. Kegiatan bernalar yang telah dirumuskan oleh Benjamin S Bloom tersebut akan menjadi sebuah wacana belaka kalau implementasi pendidikan dipraktikkan dengan cara demikian.

Melalui tulisan ini saya mengajak guru-guru dan siswa-siswa untuk kembali membaca buku secara konvensional. Membaca buku dengan cara ini akan menghidupkan kembali fungsi- fungsi perpustakaan, menghidupkan kembali semangat para penulis yang sempat redup dan memantik penulis pemula untuk memulai menulis. Kegiatan membaca ini pada akhirnya akan menstimulus siswa untuk mempelajari buku secara kompleks. Siswa tidak sekadar memindahkan catatan tetapi siswa mengenal buku itu dari cover depan hingga belakang.

Oleh Pak Hazizi

Leave A Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *